Roy Suryo Sarankan Uji Karbon untuk Ijazah UGM: Apakah Ide Ini Bisa Direalisasikan?

BELAKANGAN , perdebatan mengenai keautentikan ijazah Presiden Joko Widodo sekali lagi muncul ke permukaan.
Beberapa pihak meminta Presiden ketujuh Republik Indonesia itu untuk mengungkapkan diploma aslinya sebagai lulusan sarjana kedokteran hutan dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Tidak hanya itu, Roy Suryo, eks Menteri Pemuda dan Olahraga, juga pernah mencetuskan ide melakukan tes karbon pada dokumen ijazah tersebut demi menganalisis umur bahan fisiknya dengan metode saintifik.
Akan tetapi, gagasan uji karbon yang diajukan oleh Roy Suryo akhirnya tidak bisa diwujudkan.
Apa Itu Uji Karbon?
Di bidang arkeologi serta geologi, teknik pengukuran umur dengan menggunakan karbon-14 sering dipakai untuk mengestimasi keaslian artefak dari masa lalu yang didapatkan lewat proses eksavasi. Teknik ini memberikan kesempatan kepada para ahli guna mendeteksi waktu pembentukan objek organik sesuai tingkat ketersediaan isotop karbon radioaktif terlarut di dalamnya.
Teknik pengukuran umur menggunakan metode radiokarbon (juga dikenali sebagai pemerian karbon atau pengejaan karbon-14) adalah cara untuk mengetahui berapa lama sebuah benda yang memiliki komponen material biologis telah ada di muka bumi dengan merujukkan pada karakteristik nuklir tidak stabil dari elemen karbon dalam bentuk 14C.
Mengutip laman Canadian Archaeology Kira-kira tujuh puluh tahun yang lalu, Willard F. Libby, seorang Professor Kimia dari Universitas Chicago, meramalkan adanya karbon-14 di alam semesta. Sebagai elemen penting dalam kehidupan, karbon ditemukan dalam setiap senyawa organik berikut hidrogennya; hal tersebut menjadikan penemuan isotop itu sebagai fondasi bagi teknik menghitung umur benda-benda purba.
Karbon-14 terproduksi di bagian tinggi atmosfer saat sinar kosmik bercampur dengan atom nitrogen. Campuran tersebut membentuk karbon-14 secara konsisten dan zat ini tersebar merata ke semua lapisan atmosfer. Tanaman memperoleh karbon-14 melalui siklus fotosintesisnya, sementara hewan menerima unsur ini dari konsumsi tanaman atau hewan lain.
Saat organisme masih aktif dan hidup, kandungan karbon-14 di dalam tubuh tetap terjaga dengan baik lantaran adanya keseimbangan antara pengambilan dan dekomposisi. Akan tetapi, begitu organisme itu meninggal dunia, karbon-14 akan mulai merosot tanpa ada pergantian baru, sehingga takaran ini pun menipis dari tahun ke tahun. Prinsip inilah yang menjadi fondasi utama bagi para ilmuwan guna memperkirakan umur objek atau fosil makhluk hidup pada disiplin studi seperti arkeologi, geografi, maupun kedokteran forensik.
Peleburan karbon-14 dikalkulasikan dengan mengacu pada durasi waktu paruh, yakni masa yang diperlukan agar konsentrasi isotop ini berkurang hingga tinggal separuh dari aslinya. Menurut perkiraan awal oleh Libby, waktu paruh karbon-14 diduga berkisar antara 5.568 ± 30 tahun. Dengan demikian, selama interval itu, satu pertiga zat tersebut akan terurai dari tisu-tisu makhluk hidup yang sudah meninggal dunia. Selepas dua kali rentangan waktu paruh atau tepatnya 11.136 tahun, sisa karbon-14 juga akan merosot setengah lagi, dan pola seperti itu bakalan dilanjuti secara berturut-turut. Tetapi hasil riset tambahan memberitahu kita bahwa nilai waktu paruh yang lebih teliti mencapai 5.730 ± 40 tahun; walau bagaimana pun, banyak tempat uji coba masih menyertakan digit milik Libby sebagai standarnya, seringkali disederhanakan ke 5.570 tahun demi kemudahan penggunaan.
Walau begitu, pemeriksaan karbon tak bisa dilakukan pada seluruh jenis barang. Berdasarkan sumber yang sama, zat organik dalam kadar cukup bisa diuji melalui cara radiokarbon, terutama dengan teknologi AMS (Spektrometer Massa Accerator), yang cuma butuh kurang lebih 50 miligram contoh saja. Inovasi tersebut membuat analisa objek berukuran amat minim, misalnya sekam menjadi mungkin. Akan tetapi, jeda waktu ideal untuk tes karbon-14 berkisar antara seratus sampai lima puluh ribu tahun.
Maka itu, apabila kita melihat masa lulusan Jokowi serta penerbitan ijazahnya yang berada di sekitar tahun 1985, umur kertas tersebut masih belum sampai seratus tahun. Oleh karena itu, saran Roy Suryo tentang pelaksanaan pengujian karbon menjadi suatu hal yang mustahil atau sangat susah dilakukan terhadap dokumen tersebut. (*)