Fadli Zon Sebut Pemerkosaan pada Kerusuhan Mei 98 Sebagai 'Rumor' Tanpa Bukti, Aktivis Perempuan: Ini 'Manipulasi Sejarah'

Klaim Menteri Kebudayaan Fadli Zon bahwa kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 hanya "rumor" dan "tidak ada bukti" ditentang oleh sejumlah aktivis perempuan. Mereka menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai "pengaburan sejarah" dan melanggengkan "budaya penyangkalan".
Dalam sebuah wawancara, Fadli Zon mengeklaim "tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal", dalam peristiwa tersebut. Dia juga mengklaim bahwa informasi tersebut hanyalah rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah.
Salah satu aktivis perempuan yang mendampingi para perempuan korban kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998, Ita Fatia Nadia, menyebut pernyataan Fadli Zon "menyalahi fakta sejarah".
Sementara aktivis perempuan dan HAM, Kamala Chandrakirana, pernyataan Fadli Zon melanggengkan budaya penyangkalan—merujuk pada hasil laporan pelapor khusus PBB, Radhika Coomaraswamy tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998.
"Pernyataan menteri kebudayaan bahwa peristiwa perkosaan Mei 1998 adalah rumor ini adalah pertanda, menunjukkan bahwa menteri kita ini bagian dari budaya penyangkalan yang ternyata hampir 30 tahun setelah laporan itu dibuat sekarang masih ada, dan ternyata masih ada di dalam jajaran tertinggi pemerintahan kita," ujar Kamala dalam konferensi pers yang digelar Jumat (13/06).
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu, mengecam keras pernyataan Fadli Zon yang dianggap sebagai bentuk manipulasi dan pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998.
Menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah Indonesia pada 1998, ada banyak kesaksian dan bukti yang menunjukkan bahwa perempuan Tionghoa menjadi target pemerkosaan sistematis selama kerusuhan.
Apa pernyataan Fadli Zon terkait pemerkosaan Mei 98?
Dalam wawancara di kanal YouTube IDN Times , Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya. Peristiwa itu, menurut dia, hanya berdasarkan rumor yang beredar.
"Ada pemerkosaan massal? Betul enggak, ada pemerkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof -nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada," kata Fadli Zon.
"Rumor-rumor seperti itu, menurut saya tidak akan menyelesaikan persoalan."
Ketika ditanya soal laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mengungkap kesaksian dan bukti yang menunjukkan para perempuan menjadi target perkosaan, Fadli Zon mengeklaim "pernah membantah" dan "mereka tak bisa bisa buktikan".
Adapun saat ini pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kebudayaan, tengah menggarap penulisan ulang sejarah nasional yang ditargetkan rampung pada Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.
Fadli Zon kemudian melanjutkan dengan mengatakan buku sejarah yang sedang dibuat oleh pemerintah saat ini diharapkan "bisa mempersatukan bangsa".
- Penulisan ulang sejarah Indonesia – Rawan dijadikan alat legitimasi, meminggirkan perempuan dan sejarah Papua
- Rusia berupaya menulis ulang sejarah Stalin dan Uni Soviet
Dalam draf Kerangka Konsep Penulisan "Sejarah Indonesia" yang didapatkan BBC News Indonesia , sejumlah pelanggaran HAM berat ternyata tidak dimasukkan dalam proyek ini, antara lain:
- Pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam Peristiwa Mei 1998
- Penembakan misterius (Petrus)
- Penghilangan paksa aktivis 1997-1998
- Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II
- Kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua
- Pembantaian Massal 1965
Apa tanggapan para aktivis perempuan?
Sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998.
Hal tersebut sejalan dengan proyek penulisan ulang sejarah yang tengah dipimpin oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan yang tampaknya menyingkirkan narasi penting tentang pelanggaran berat HAM dari ruang publik.
"Apa yang dikatakan oleh Fadli Zon tentang [bahwa pemerkosaan Mei 98] itu bohong, itu rumor, itu menyalahi fakta sejarah yang terjadi pada bulan Mei 1998," tegas salah satu aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia.
Fakta sejarah itu, kata Ita, bahkan telah ditulis dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Pada halaman 609 dalam buku tersebut, tertulis bahwa pada pergerakan politik bulan Mei 1998, terjadi pemerkosaan massal terhadap sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Solo.
Dari jumlah korban kekerasan seksual yang dilaporkan, yang telah diverifikasi—diuji menurut tingkatan sumber informasi—oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 sampai akhir masa kerjanya adalah sebagai berikut
- 52 orang korban perkosaan
- 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan
- 10 orang korban penyerangan atau penganiayaan seksual
- 9 korban pelecehan seksual
Selain korban-korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan Mei Kasus-kasus kekerasan seksual ini ada kaitannya dengan kasus-kasus seksual yang terjadi selama kerusuhan.
Dalam kunjungan ke daerah Medan, TGPF telah mendapatkan laporan tentang ratusan korban pelecehan seksual yang terjadi pada kerusuhan tanggal 4-8 Mei 1998, lima di antaranya telah melapor.
Setelah kerusuhan Mei, dua kasus terjadi di Jakarta pada 2 Juli 1998 dan dua kasus terjadi di Solo pada tanggal 8 Juli 1998.
TGPF menyebut kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan dan di depan tempat usaha. Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah atau bangunan.
TGPF juga menemukan bahwa ebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape—diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama.
Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain.
Meskipun korban kekerasan tidak semuanya berasal dari etnis China, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 lalu diderita oleh perempuan etnis Cina.
Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial.
Budaya penyangkalan
Peristiwa 98 adalah katalis yang mendorong kedatangan Pelapor Khusus PBB, Radhika Coomaraswamy, ke Indonesia untuk menyelidiki kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 dan di wilayah DOM pada tahun itu di Aceh, Timor Timur dan Papua.
Dalam hasil laporannya, Radhika menyebut "ada semacam budaya penyangkalan" yang menghambat penegakan hukum terkait perisitwa 1998.
Denial culture, atau budaya penyangkalan adalah penolakan untuk mengakui peristiwa yang telah terjadi. Dalam konteks Peristiwa 1998 itu tercermin dalam sikap kalangan aparat negara.
"Misalnya, para pejabat sistem peradilan pidana berargumen bahwa tidak ada kasus yang dilaporkan, sehingga pemerkosaan pasti tidak terjadi," tulis Radhika dalam hasil laporannya.
Padahal, menurut Radhika, minimnya laporan ini disebabkan ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan pidana yang tidak berpihak pada perempuan.
Dalam laporannya, Radhika menyebut dirinya telah bertemu dengan para korban kerusuhan dan ia meyakini "pemerkosaan memang terjadi".
Aktivis perempuan dan HAM, Kamala Chandrakirana, mengatakan budaya penyangkalan ini membuat pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan sebagai bukan "persoalan penting untuk diperhatikan", tapi juga "untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan"
"Untuk dinyatakan suatu yang penting pun tidak sehingga tidak ada niat untuk cari tahu apa yang terjadi," ujar Kamala.
Pernyataan Fadli Zon bahwa peristiwa pemerkosaan Mei 1998 adalah rumor, bagi Kamala, adalah "pertanda" yang menunjukkan bahwa menteri kebudayaan tersebut bagian dari budaya penyangkalan.
"Yang ternyata, hampir 30 tahun setelah laporan itu dibuat sekarang masih ada [budaya penyangkalan] dan ternyata masih ada di dalam jajaran tertinggi pemerintahan kita," tegas Kamala.
Jika pemerkosaan dalam Peristiwa 98 ini tak masuk dalam penulisan ulang sejarah nasional, Kamala khawatir narasi sejarah tersebut akan "kehilangan keabsahannya", karena tidak akan mendapat kepercayaan publik—terutama dari para perempuan.
"Apa pun yang akan nanti dihasilkan oleh proyek sejarah nasional ini, tidak akan mendapat dukungan karena dia tidak mencerminkan perjalanan nyata dari kehidupan perempuan maupun kehidupan bangsa."
"Dia akan kehilangan keabsahannya dan akan sekedar menjadi pertanda langgengnya budaya penyangkalan, culture of denial, yang sudah hidup selama 30 tahun ternyata, dan ternyata sekarang ada di dalam jajaran pemerintahan kita."
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyawati Irianto, menegaskan penyangkalan Fadli Zon semestinya dilihat dalam konteks yang lebih luas—yakni terkait penulisan ulang sejarah.
"Yang sedang dilakukan dengan penulisan sejarah ulang dengan dewan-dewan pemberian gelar dan kemudian penginkaran terhadap peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan itu adalah penyesatan identitas bangsa," kata Profesor Sulis.
"Bangsa apa yang melupakan sejarahnya? Karena mereka tidak bisa membangun ke depan kalau mereka tidak punya pengetahuan yang memadai tentang apa yang pernah terjadi," ujarnya kemudian.
Dalam hal, menurut Profesor Sulis, Indonesia semestinya belajar dari bangsa-bangsa lain bagaimana mereka bangkit dari penderitaan akibat perang, akibat kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang dilakukan Jepang dan Jerman.
Dia mencontohkan, di berbagai kota di Jerman dibangun memorialisasi dan pejabat yang menjadi perdana menteri di dalam pelantikannya kemudian akan mengunjungi salah satu memorialisasi.
"Mereka mengatakan 'mea culpa' sampai tiga kali untuk menunjukkan bahwa mereka menyesal terhadap peristiwa-peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan tujuannya apa? Agar tidak diulangi lagi oleh generasi yang akan datang," terang Sulis.
"Yang kami tuntut hari ini adalah negara harus membayar utang, membayar utang pengakuan bahwa peristiwa ini pernah terjadi," ujarnya kemudian.
"Kemudian juga harus memulihkan trauma-trauma yang bukan hanya dialami oleh korban, tetapi juga oleh segenap keluarga bangsa."
Negasi dan penyangkalan
Ita Fatia Nadia, juga mengatakan bahwa klaim Fadli Zon yang meragukan pemerkosaan dalam Peristiwa 98, telah mengingkari pembentukan Komnas Perempuan.
Pada Oktober 1998, kata Ita, sebelas perempuan—termasuk Ita—bertemu dengan presiden Indonesia saat itu, BJ Habibie, untuk menyerakah dokumen data yang fakta terkait pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998.
Dalam pertemuan tersebut, presiden mengatakan bahwa dia "percaya" dan "menerima bahwa terjadi perkosaan massal" terhadap para perempuan etnis Tiongha pada Mei 1998.
Profesor Saparinah Sadli yang turut hadir dalam pertemuan itu kemudian mengusulkan dibentuknya suatu komisi yang melindungi perempuan dari segala tindakan kekerasan terhadap perempuan.
"Presiden Habibie ketika itu menyatakan, 'Baik kalau begitu mari dibentuk, bagaimana membangun, mendirikan institusi bernama Komnas Perempuan'."
Komnas Perempuan dibentuk oleh Presiden Habibie melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.
Maka dari itu, lanjut Ita, dia menganggap klaim Fadli Zon menegasikan dan menyangkal pemerkosaan dalam Peristiwa 1998.
"Dia sebagai pejabat publik, sebagai menteri yang seharusnya menumbuhkan, menyemai satu bangunan untuk membangun kembali recalling memory untuk reparasi, untuk bagaimana menyembuhkan trauma bangsa ini, untuk menyembuhkan trauma dari kaum perempuan yang menjadi korban," kata Ita.
"Tetapi justru dia menegasikan, menyangkal tentang peristiwa perkosaan Mei 1998."
- Kisah warga keturunan Tionghoa yang menetap di luar negeri usai kerusuhan Mei 1998 dan mereka yang memutuskan kembali ke Indonesia - ‘Semoga pemerintah tidak hapus sejarah’
- Kerusuhan Mei 1998: "Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?"
- Sejauh mana generasi yang lahir setelah 1998 tahu soal Tragedi '98?
- Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’
- Korban kerusuhan Mei 1998, bagaimana kondisi mereka kini?
- Generasi Z dan Peristiwa 1998: 'Relevan dibahas agar anak muda tidak menjadi korban pada masa mendatang'
- Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’
- Kerusuhan Mei 1998: "Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?"
- Kisah warga keturunan Tionghoa yang menetap di luar negeri usai kerusuhan Mei 1998 dan mereka yang memutuskan kembali ke Indonesia - ‘Semoga pemerintah tidak hapus sejarah’