Riset Obat Ganja di Indonesia: Proyek yang Belum Menjadi Kebenaran
Badan Narkotika Nasional ( BNN ) menekankan komitmennya dalam melaksanakan penelitian dan analisis mendalam tentang penggunaan ganja sebagai keperluan medis atau yang dikenal juga sebagai ganja medis Kepala BNN, Marthinus Hukom menyatakan bahwa institusi tersebut telah dilengkapi dengan sarana penelitian yang cukup untuk mengkaji ganja sebagai obat medis.
"Terkait dengan masalah ganja, saya minta maaf tapi kami berencana untuk mengadakan penelitian. Lagi pula, kita memiliki lab forensik tersendiri yang termasuk salah satu yang terbaik di kawasan ASEAN," ungkap Marthinus demikian. rapat kerja bersama Komisi III DPR RI pada hari Senin, 5 Mei 2025.
Marthinus berencana untuk melibatkan lembaga pemerintah tambahan, khususnya Departemen Kesehatan serta Lembaga Penelitian dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam penelitian tentang ganja medis.
"We ask for time to conduct research. Since the issue of marijuana is currently being discussed, can we explore whether legalizing it could address health concerns more effectively? We require more accurate study findings," katanya.
Pernyatan Marthinus keluar setelah Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, menyinggung tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang memacu pihak berwenang untuk melaksanakan penelitian tentang ganja serta fungsinya di bidang kesehatan. Permintaan ini dicantumkan dalam isi dari putusan tersebut. Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada kasus penilaan UU No 35 Tahun 2009 mengenai Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD RI tahun 1945 (UUD 1945).
Hinca menyoroti lambatnya pemerintah dalam proses diskusi sehingga penelitian belum juga dilakukan. Apalagi, vonis Mahkamah Konstitusi itu sudah dirilis tiga tahun silam, didorong oleh Santi Warastuti bersama beberapa kelompok masyarakat sipil. Ini disebabkan putrinya, Pika, yang mengidap cerebral palsy dan memerlukan cannabis untuk perawatan medis.
Saat ini Pika sudah tidak ada lagi. DPR mengatakan bahwa pemerintah, yang terlalu lama dalam perdebatan tentangrencana penelitian obat ganja untuk keperluan medis, juga memiliki bagian atas penyebabnya.
"Hari ini tepat 48 hari sejak Pika menghembus nafas terakhir di dunia. Dia adalah salah satu putra bangsa yang tiada bukan akibat peperangan, musibah alam, atau gangguan serupa, melainkan disebabkan oleh pemerintahan yang memakan waktu cukup lama dalam membahas suatu penelitian tanpa ada tindak lanjut," ujar Hinca.
Dia menyebut bahwa sekarang mereka hanya dapat mengamati tindakan Kementerian Kesehatan. "Namun hingga saat ini, malah semakin sulit untuk mendengar suara instansi tersebut."
Dalam aturan UU Narkotika Ganja tetap termasuk ke dalam kelompok narkotika I menurut informasi di situs Badan Nasional Narkoba (BNN). narkotika Di grup ini yang paling berbahaya dan menganggap ganja sama seperti heroin, kokain, morfin sampai opium.
Dalam sebuah wawancara terpisah dengan pers, Marthinus menyatakan pentingnya penelitian tentang ganja supaya publik tidak tersesat dalam berbagai mitos berkaitan tanaman ini. Ia berpendapat bahwa bukti ilmiah perihal manfaat ganja sebagai obat harus dikonfirmasi lewat studi mendalam serta serangkaian tes di lab.
"Kita tidak boleh hanya mengandalkan pada legenda atau gosip belaka, tetapi perlu didasari oleh data penelitian ilmiah yang menunjukkan adanya kondisi medis yang dapat disembuhkan menggunakan tanaman ganja," ujarnya setelah pertemuan di Komeril Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).
Tirto mencoba untuk kembali mengelaborasi jawaban Marthinus terkait upaya BNN dalam meriset ganja medis, namun hingga artikel ini tayang, Perwira Tinggi Polri tersebut tak merespons pesan singkat maupun telepon kami.
Di sisi lain, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat di Kementerian Kesehatan, Aji Rokomyanmas, menyatakan bahwa sampai saat ini mereka belum mendapatkan undangan dari BNN untuk melaksanakan penelitian tentang ganja medis.
"Saya sudah cek ke internal, belum ada usulan dari BNN untuk melakukan riset soal penggunaan ganja untuk yankes (pelayanan kesehatan)," kata Aji saat dihubungi Tirto, Rabu (7/5/2025).
Dia juga menggarisbawahi pemakaian istilah 'ganja medis', karena hingga saat ini peraturan yang berlaku masih belum mencakup terminologi tersebut.
"Berdasarkan UU Narkotika yang berlaku saat ini, Narkotika golongan I tidak dapat digunakan untuk kepentingan medis di pelayanan kesehatan. Jadi sebenarnya tidak ada istilah ganja medis," kata Aji.
Apakah Indonesia Terlambat Riset Ganja Medis?
Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara (YSN), Dhira Narayana menyebut Indonesia tergolong lambat apabila baru akan memulai riset terhadap ganja medis. Dia menyebut sudah ada banyak negara yang telah melegalkan Cannabis sativa demi kepentingan medis. Beberapa negara bahkan membolehkannya untuk keperluan rekreasi.
"Kalau di Indonesia, kan narkotika berarti mulai dari tahun 1976. Sampai sekarang masih golongan I, belum ada perubahan penggolongan di situ," kata Dhira saat dihubungi Tirto, Selasa (7/5/2025).
Tanpa adanya transparansi dalam penelitian tentang ganja, bisa timbul kemungkinan membuatnya menjadi barang dagang ilegal di pasaran gelap. Namun, jika diteliti dan ternyata ganja mempunyai kegunaan sebagai obat, pihak berwenang akan dapat mengontrol pendistribusiannya secara lebih efisien, mirip seperti sistem peredaran produk farmasi melalui apotek atau rumah sakit.
"Saat hal tersebut telah ditentukan, maka akan jauh lebih sederhana bagi kami dalam memantau penggunaan yang tidak tepat daripada keadaan saat ini. Mengenai ganja untuk tujuan kesehatan, setelah penelitian dilakukan serta manfaatnya teridentifikasi sebagai bahan obat, berarti pemerintah akan menegakkan peraturan atas zat tersebut, sehingga pemantaunnya akan menjadi jauh lebih mudah dibanding dengan skenario saat ini," ungkap Dhira.
Dhira menjelaskan ada banyak kesalahan persepsi di publik terkait ganja medis. Dirinya menyebut bahwa masyarakat hanya mengetahui jika konsumsi ganja melalui proses pembakaran layaknya rokok atau kemudian dikenal dengan istilah, nyimeng. Padahal, kata Dhira, ada banyak cara untuk mengkonsumsi ganja sebagai obat.
"Bila Anda mencari obat dari ganja, terdapat berbagai bentuk seperti tablet dan juga cairan sirup," jelasnya.
Dirinya juga mengharapkan dengan riset ganja secara komprehensif dan melibatkan banyak pihak, bisa menjadikannya sebagai produk olahan lain yang memiliki daya tunjang terhadap ekonomi.
"Dalam melakukan penelitian tentang ganja, jangan terbatas hanya pada aspek kesehatan saja, sebab masih banyak manfaat lain dari ganja seperti untuk pembuatan pakaian, konstruksi rumah, dan sebagai sumber energi, semuanya memiliki potensi di bidang tersebut," ungkap Dhira.
Anggota Komisi III DPR RI, Hinca setuju dengan gagasan Dhira. Menurutnya, penelitian bisa jadi dasarnya. Dengan begitu, nanti manfaat-manfaat yang berasal dari ganja akan lebih mudah diukur.
"Lebih baik melakukan penelitian terlebih dahulu, itu adalah metode pengujian nya. Apa yang harus dilakukan untuk ganja medis, pakaian, serta hal-hal lainnya? Dari sinilah kita menyusun peraturannya. Penelitianlah yang menjadi dasar dan inti dari semua ini," ungkap Hinca melalui pesan pendek kepada Tirto pada hari Selasa, 7 Mei 2025.
Dio Ashar Wicaksana, seorang mahasiswa doktor dari School of Regulation and Global Governance, Universitas Nasional Australia, menyebutkan bahwa persepsi negatif tentang ganja semakin berubah di banyak negara.
Beberapa negara maju sudah mulai melegalkan ganja untuk penggunaan medis. Dalam artikelnya untuk The Conversation, dia menyebut mulai terjadi pergeseran persepsi terhadap penggunaan ganja dalam konteks medis.
Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO Meskipun menggambarkan risiko dari penggunaan ganja, dia juga menyoroti temuan penelitian yang menunjukkan manfaat terapi ganja dalam meredakan mual dan muntah pada penderita penyakit serius seperti kanker dan AIDS.
Institute of Medicine Pada tahun 1982 sudah mulai menyelidiki kemungkinan cannabis digunakan sebagai obat. Temuan dari riset tersebut mendapati bahwa cannabis serta senyawa terbarunya memberi harapan bagi sejumlah kondisi medis termasuk glaukoma, asma, dan meredakan muntah.
Beberapa negara yang tadinya menentang penggunaan ganja sebagai obat terapi pun berubah pikiran. Di Amerika Serikat (AS), sejumlah negara bagian seperti California sudah membuka peluang bagi penderita penyakit parah untuk menggunakan ganja medis. Aturan tersebut diatur dalam Kode Keamanan dan Kesehatan. HSC ), selama ada masukan dan keputusan dari dokter yang merawat.
Negara lain, seperti Belanda, sudah menetapkan aturan untuk penggunaan ganja dalam bidang kesehatan. Bahkan mereka memiliki sistem terkait hal tersebut. divisi khusus Dari Kementerian Kesehatannya yang menyediakan tanaman ganja untuk tujuan perawatan medis dan riset ilmiah.
"Saati ini paling tidak terdapat 20 negara yang telah mengatur pemakaian obat dari tanaman ganja. Di sisi lain, sejumlah negeri lain sedang melaksanakan riset guna mempelajari keuntungan menggunakan ganja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk mereka," demikian dikemukan oleh Dio dengan merujuk pada hal tersebut. hempika.com .
Integrasikan Masyarakat Adat ke Dalam Penelitian Obat-Obatan Berbasis Ganja
Mengutip riset Yayasan Sativa Nusantara, tradisi penggunaan ganja untuk konsumsi telah termaktub dalam khazanah nusantara. Salah satunya dalam manuskrip kuno kitab Tajul Muluk di Aceh. Hal itu menjadi catatan bahwa ganja telah digunakan sebagai bahan ritual, pengobatan campuran makanan hingga pertanian sejak ratusan tahun silam.
Dalam studinya yang berjudul ' Narkoba di Indonesia: Pola dalam Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan ', Dania Putri mengatakan bahwa penggunaan ganja secara tradisional sudah umum terjadi di wilayah utara Sumatera, khususnya di Provinsi Aceh.
Secara sejarah, pemanfaatan ganja di Tanah Air bahkan sudah mengakar sejak abad ke-10. Penggunaannya sebagai makanan, campuran kopi, dan tanaman herbal untuk diabetes sudah banyak praktiknya.
Hal ini menunjukkan histori yang kuat terkait ganja di Indonesia. Oleh karenanya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Albert Wirya meminta pemerintah untuk melibatkan masyarakat adat dalam proses perumusan riset ganja medis.
"Studi tambahan perlu melibatkan penggunaan ganja di kalangan masyarakat adat, karena beberapa kelompok suku asli di Indonesia telah mengonsumsi ganja untuk kebutuhan komunitas mereka selama ini," ungkap Albert saat berbicara dengan jurnalis Tirto pada hari Selasa, 7 Mei 2025.
Demi membuktikan keseriusan pemerintah dalam riset ganja medis, Albert menegaskan perlunya diterbitkan aturan tegas atau regulasi transisi yang berbentuk peraturan pemerintah, atau peraturan setingkat menteri yang memungkinkan kegiatan riset dilakukan secara legal, transparan dan akuntabel.
"Tapi kita telah mengharapkan supaya penelitian itu dijalankan dengan kerangka yang tepat, untuk menjamin bahwa prosesnya jelas, melibatkan berbagai pihak, serta dapat mendengar pendapat dari mereka yang sebelumnya telah menderita akibat keputusan tentang obat terlarang yang keras."katanya.
Albert menginginkan agar pihak pemerintahan menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk terlibat dengan signifikan, mencakup pemangku kepentingan dari kalangan masyarakat sipil, para peneliti dan pengajar, mereka yang menjadi dampak langsung atas pembatasan pada ganja, termasuk juga komunitas asli yang sudah sejak dulu menggunakan tanaman tersebut dalam praktik-tradisi mereka.
"Pemerintah perlu mengungkapkan dukunannya pada golongan yang kurang beruntung, mereka yang sedang dalam kondisi sulit, serta masyarakat asli, dengan cara memastikan bahwa penelitian itu menyeluruh, melibatkans semua pihak, ilmiah, dan jujur," lanjutnya.