Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Urgensi Mitigasi Metana di Indonesia

Saat misi mandiri pangan terus menjadi prioritas utama dalamrencana pengembangan nasional di Indonesia, perlu dipahami bahwa ada kemungkinan konflik kepentingan yang muncul. (trade-off ) yang bisa memperlambat kemajuan menuju pengurangan emisi gas rumah kaca. Secara spesifik, metana adalah elemen penting tapi sering diabaikan dalam perancangan strategi iklim. Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan makanan dunia, prediksi menunjukkan bahwa emisi gas-gas tersebut bakal tetap naik drastis.

Metana termasuk jenis gas rumah kaca yang sangat berbahaya, mempunyai kemampuan menghangatkan bumi melebihi 80 kali kadar karbon dioksida. Sementara karbon dioksida dapat bertahan dalam atmosfir hingga lebih dari seratus tahun, umur metana relatif pendek yaitu hanya sekitar dua dekade.

Meskipun metana hanya bertahan sebentar di atmosfir, dampak kerusakannya cukup besar akibat kekuatan penyerapan panasnya yang kuat. Kontribusi metana pada pembentukan ozon tropis semakin mengeraskan efek tersebut, mengganggu produksi pertanian serta kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, pemotongan emisi metana dengan cepat menjadi suatu taktik penting dalam upaya mengekang percepatan perubahan iklim dalam waktu dekat.

Memahami Urgensi

Kepentingan mengurangi emisi metana mencolok di beberapa program dunia, misalnya Kebijakan Global Metana dan Perjanjian Paris. Indonesia juga sudah menunjukkan janjinya kepada tujuan-tujuan internasional tersebut. Dalam kepemimpinan presiden sebelumnya, Joko Widodo dengan jelas mendeklarasikan dukungan Indonesia terhadap Global Methane Pledge yang bertujuan untuk mengurangi emisi metana dunia hingga 30% pada tahun 2030.

  • Pertamina Mendorong Kerja Sama Domestik dan Global untuk Mengurangi Emisi Metana
  • Emitasi Metana Meningkat dan Mengancam Tujuan Iklim, ASEAN SebagaiProduse Terbesar di Asia Tenggara
  • Kawah dan TPA Jadi Penghasil Gas Metana yang Tak Terduga

Di Indonesia , sektor limbah merupakan penyumbang utama emisi metana, yakni sekitar 56%, diikuti sektor pertanian (30%) dan energi (14%). Meski sektor limbah menyumbang porsi terbesar, sektor pertanian tetap menjadi sumber signifikan yang masih kurang mendapatkan perhatian. Ini sangat mengkhawatirkan, mengingat sektor pertanian memiliki keterkaitan langsung dengan ketahanan pangan, penghidupan masyarakat pedesaan, serta agenda pembangunan nasional jangka panjang.

Oleh karena itu, pengendalian emisi metana dari sektor pertanian harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari strategi iklim Indonesia. Pendekatan ini penting untuk memastikan bahwa upaya pengurangan emisi tetap sejalan dengan misi nasional dalam mencapai swasembada pangan.

Merujuk pada laporan Second Biennial Update Indonesia, budidaya padi menjadi penyumbang terbesar emisi metana dari sektor pertanian, yakni lebih dari 50%. Angka ini sangat tinggi, terutama pada wilayah dengan intensitas produksi padi yang padat seperti Pulau Jawa dan Sumatra. Situasi ini berpotensi memburuk dengan adanya dorongan pemerintah untuk memperluas lahan sawah melalui program food estate , yang berisiko menambah tekanan terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan prinsip keberlanjutan.

Sektor peternakan juga memberikan kontribusi signifikan terhadap emisi metana. Walau populasi sapi di Indonesia tergolong sedang dibanding negara-negara besar seperti Brasil atau Amerika Serikat, emisi dari sektor ini tetap tinggi. Penyebab utamanya adalah pengelolaan kotoran ternak yang masih minim, di mana limbah seringkali tidak dilelola secara layak, sehingga menimbulkan emisi metana tinggi akibat proses dekomposisi yang tak terkendali.

Tantangan lainnya datang dari perubahan penggunaan lahan. Perluasan lahan pertanian yang dilakukan secara cepat acap kali menggunakan metode tebang-bakar dan konversi hutan serta lahan gambut. Aktivitas ini melepaskan metana dalam jumlah besar dari tanah. Laporan Global Methane Assessment 2021 mencatat bahwa pengeringan lahan gambut dan pembakaran biomassa di Asia Tenggara, terutama Indonesia, berkontribusi hingga 10% terhadap emisi metana global dari sektor penggunaan lahan.

Di luar sumber utama tersebut, limbah makanan juga memainkan peran penting namun seringkali diabaikan dalam rantai emisi metana dari sektor pertanian. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2023, limbah makanan menyumbang proporsi terbesar dari total timbunan sampah nasional, yakni 44,34%, lebih tinggi dibanding limbah plastik yang hanya 22,14%. Masalah ini berpotensi meningkat seiring peluncuran program makan bergizi gratis. Tanpa pengelolaan yang tepat baik dari sisi porsi, preferensi pangan, hingga efisiensi distribusi program ini dapat memperburuk timbulan limbah makanan.

Realitas ini menegaskan bahwa mitigasi emisi metana di sektor pertanian memerlukan pendekatan lintas sektor yang komprehensif. Salah satu jalan keluar yang menjanjikan adalah dengan mendorong praktik pertanian rendah karbon. Pendekatan ini tidak hanya berkontribusi terhadap penurunan emisi, tetapi juga mampu meningkatkan efisiensi produksi dan ketahanan sistem pangan nasional.

Langkah ke Depan

Penerapan pertanian rendah karbon di Indonesia masih berada dalam tahap pengembangan, namun menunjukkan tren kemajuan yang positif dalam beberapa tahun terakhir. Dari sisi kebijakan, pendekatan pembangunan rendah karbon telah ditempatkan sebagai prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Pertanian rendah karbon bahkan dimasukkan secara eksplisit dalam Prioritas Nasional 2, yang tidak hanya menitikberatkan pada penguatan sistem pertahanan dan keamanan nasional, tetapi juga pada penguatan kemandirian bangsa.

Komitmen ini turut tercermin dalam Nationally Determined Contribution atau NDC Indonesia dalam kerangka Paris Agreement. Beberapa aksi mitigasi utama yang tercantum dalam dokumen tersebut antara lain peningkatan metode budidaya padi, restorasi lahan gambut yang terdegradasi, serta pengembangan pengelolaan peternakan secara berkelanjutan.

Di tingkat implementasi, berbagai praktik pertanian cerdas iklim mulai digalakkan. Salah satu contoh yang menonjol adalah penerapan metode pengairan bergantian ( alternate wetting and drying ) pada lahan sawah, yang terbukti dapat menurunkan emisi metana dengan cara menghindari genangan air yang terus-menerus. Selain itu, terdapat peningkatan minat terhadap pendekatan pertanian regeneratif dan organik. Pendekatan ini berkontribusi pada peningkatan kesehatan tanah, pengurangan penggunaan input kimia, serta peningkatan kemampuan lahan dalam menyerap karbon secara alami.

Sejalan dengan momentum peringatan Hari Bumi yang dirayakan setiap tanggal 22 April, perlu renungan kritis untuk mengevaluasi tidak hanya menetapkan strategi, namun juga mengukur sejauh mana kemajuan nyata telah dicapai dalam merawat bumi. Upaya mitigasi emisi metana perlu dilihat sebagai bagian dari transformasi sistemik yang lebih luas. Apakah kebijakan yang telah dirumuskan tepat sasaran, apakah implementasinya telah menjangkau hingga ke tingkat akar rumput, dan apakah dampaknya benar-benar terasa bagi ekonomi, masyarakat, maupun lingkungan.