Sapi, Spesies Rekayasa Manusia yang Menghancurkan Alam
Percaya tidak percaya, sapi bukanlah hewan yang muncul dari alam. Hewan ini eksis akibat intervensi manusia. Ia lahir dari obsesi manusia terhadap spesies yang mampu menyediakan banyak kebutuhan, tetapi saat itu terlampau sulit untuk ditaklukkan.
Dahulu kala, sapi punya bentuk dan karakteristik yang amat berbeda. Posturnya tinggi, besar, dan kokoh. Bobotnya bisa mencapai lebih dari 800 kilogram. Ototnya bak terbuat dari kawat dan tanduknya lebih besar dari sabit.
Sebelum didomestikasi, hewan ini bergerak liar di padang rumput purba. Yang mereka makan hanyalah makanan yang disediakan oleh alam. Di sisi lain, mereka secara alami membantu alam kembali tumbuh berseri. Kuku-kukunya membantu penanaman benih. Kotoran yang mereka keluarkan menyuburkan tanah. Hidup mati mereka benar-benar sesuai dengan kehendak alam liar. Mereka pun tidak disebut sapi, melainkan auroch.
Saat ini, pemandangan telah benar-benar berubah. Sapi-sapi modern dikurungan di dalam kandang, mengunyah rumput sambil rileks merasakan hangatnya cahaya matahari. Karakter mereka tak lagi mencerminkan nenek moyangnya karena perubahan tersebut dilakukan oleh manusia. Transformasi dari aurochs ke sapi bukan hasil proses evolusi, tetapi melalui tindakan pembibitan selektif.
Tak seperti auroch yang begitu berjasa kepada alam, sapi justru menghancurkannya.
Dari Raksasa Liar Menjadi Pelayan Manusia
Auroch merupakan suatu karya alam yang luar biasa. Tinggi badan serta postur tubuhnya yang kuat memungkinkannya tidak hanya bertahan dari serangan pemangsa menggunakan strategi menyerang, tapi juga dapat melepaskan diri dengan cara menghindar.Cara hidup auroch pun sangat bermanfaat bagi kelangsungan lingkungan hidup. Hentakan kaki mereka menggemburkan tanah dan membantu pembibitan. Pergerakan mereka mencegah adanya dominasi dari satu spesies tumbuhan.
Singkatnya, aurochs merupakan binatang yang ganas, kuat, mandiri, serta tidak tertandingi.
Namun, aurochs saat ini hanya menjadi sejarah. Pada tahun 1627, di hutan Jaktorów, Polandia, auroch terakhir mati Itu bukan hanya tentang kehilangan sebuah spesies, tetapi juga berakhirnya gaya hidup yang dulunya mengatur keragaman hayati alami.
Kepunahan aurochs merupakan puncak dari suatu perjalanan yang lama. Sekitar 10.500 tahun silam , di area Hilal Subur ( Fertile Crescent )—kini menjadi bagian dari Irak, Suriah, Turki, dan Iran, komunitas pertanian awal pernah bersinggungan dengan hewan liar aurochs. Spesies binatang tersebut begitu sulit untuk ditangkap, mustahil untuk dimanfaatkan sebagai ternakan, namun terlalu bernilai untuk dilewatkan. Daging, susunya, serta kulitnya sungguh-sungguh memiliki nilai tinggi bagi mereka, bahkan melebihi apa yang bisa disediakan oleh jenis lain.
Manusia pun mencari akal. Jika auroch dewasa sudah terlalu sulit untuk diburu dan dijinakkan, auroch yang masih kanak-kanak tentu lebih mudah dikendalikan. Begitu kiranya latar belakang pemikiran mereka. Lantas, anak-anak auroch "diculik", lalu dibiakkan secara selektif. Hanya yang paling jinak dan lemah yang boleh dibiakkan. Sementara itu, yang tumbuh menjadi auroch ganas akan segera disembelih.
Dari situlah, ratusan generasi setelahnya, bentuk auroch perlahan berubah. Ukuran mereka jadi lebih kecil, tanduknya lebih pendek, dan tak lagi ganas. Mereka berubah menjadi hewan yang patuh dan tunduk pada keinginan para penciptanya: manusia.
Sampai akhirnya, kurang lebih 8.000 tahun silam , muncullah dua jenis sapi yang selanjutnya berkembang menjadi keturunan baru bagi sapi-sapi modern hari ini. Di daerah Hilal Kesuburan, terjadi Bos taurus yang merupakan leluhur bagi kebanyakan ternak sapi di Eropa dan Asia. Di sisi lain, dari wilayah subkontinental India, timbullah Bos indicus alias sapi zebu yang tetap bertahan sampai sekarang.
Dengan perpindahan manusia, hewan peliharaan juga turut bersama-sama. Inilah saatnya untuk proses evolusi dimulai. Sapi yang dibawa ke Skotlandia berkembang menjadi jenis sapi Highland berbulu lebat guna perlindungan dari cuaca dingin. Sedangkan di India dan Afrika, sapi zebu mengalami adaptasi terhadap kondisi panas dan kering. Akan tetapi, di wilayah Eropa, pembibitan dilakukan secara sengaja: sapi disilangkan agar ukurannya bertambah besar demi mendapatkan lebih banyak daging.
Intervensi bahkan berkembang menjadi tahap yang jauh lebih ekstrim pula. masa revolusi industri Sapi bukanlah sekadar binatang ternak penyedia daging atau susu.
Manusia memerlukan spesialisasi yang lebih tegas. Terdapat sapi tertentu dirancang hanya untuk menghasilkan susu. Lalu ada juga sapi dengan tujuan utama peningkatan bobot badan. Proses pemilihan genetik ini terjadi lagi dan lagi. Akhirnya lahir sapi Holstein bercorak hitam-putih, yaitu spesialis dalam produksi susu; sapi Angus, dibudidayakan secara khusus sebagai hewan ternak peternakan; serta sapi jersey, dimana susu mereka selanjutnya diproses menjadi produk-produk lain misalnya keju atau mentega.
Berikut ini merupakan sapi yang diketahui oleh manusia modern. Kini mereka tidak hanya menjadi penguasanya di lahan terbuka tetapi juga 'peralihan' bagi manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Secara mendasar, sapi berasal dari keturunan aurochs dan kini telah merosot daya kuatnya.
Ancaman Babi Terhadap Ekosistem Sekitar
Berdasarkan perkiraan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, terdapat 1,5 miliar ekor sapi Yang berada di permukaan bumi sekarang. Sudah pasti, mengingat mereka adalah produk rekayasa genetika untuk memenuhi kebutuhan manusia, spesies yang paling banyak adalah sapi dengan nilai industrial.Sebuah sapi jenis Holstein bisa memproduksiصند 10 ribu liter susu tiap tahunnya. Namun, biasanya jasad mereka telah hancur sebelum itu. empat sampai enam tahun . Sapi Angus, di sisi lain, tumbuh besar dengan cepat dan sering kali sudah dibunuh sebelum mencapai usia dua tahun .
Kehidupan sapi terfokus pada peranan manusia. Selain sebagai sumber produksi barang dagangan, mereka pun telah kehilangan kapabilitas untuk bertahan tanpa bantuan manusia. Sapi-sapi jaman now harus dipelihara dengan hati-hati sebab mereka sudah tidak mempunyai keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan dalam lingkungan liar.
Biaya untuk merawat sapi, sehingga dapat terus memenuhi keperluan manusia, sungguhlah mahal. Sebagai ilustrasi di Hutan Hujan Amazon, mayoritas karhutla atau kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun disebabkan oleh peternakan ternak seperti sapi. Ambil saja contoh pada 2019, jumlah kejadian tersebut melebihi 80 ribu insiden terkait kebakaran hutan dan lahan telah dilaporkan. Di Amazon. Sekitar 80 persen di antaranya terjadi akibat kerusakan hutan-hutan tersebut. diubah menjadi area pertanian rumput hijau untuk ternak sapi .
Hal itu belum mencakup emisi metana yang dikeluarkan melalui usus ternak sapi. Setiap sapi menghasilkan ratusan liter metana per hari. Metana, selama periode waktu singkat sekitar dua puluh tahun, memiliki kekuatan delapan puluh kali lipat dalam menjerap panas di atmosfir dibandingkan dengan karbon dioksida. Tidak mengherankan apabila demikian. 14,5% dari emisi gas rumah kaca Yang diakibatkan oleh aktivitas manusia berupa pertanian ternak sapi skala besar.
Masalah berikutnya yang dihadapi adalah kekurangan air. Secara umum, satu ekor sapi memerlukan 100 hingga 150 liter air setiap harinya , yang bertujuan hanya untuk konsumsi. Dibutuhkan sumber daya ekstra untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi,. 15 ribu liter air Satu liter susu sapi menghabiskan 628 liter air . Bila dijumlahkan, sepanjang hidupnya yang pendek, satu ekor sapi perahan membutuhkan 45.000 liter air .
Masalah akhirnya berkaitan dengan peningkatan asupan makanan yang berlebihan. Sejauh ini, ternak sapi telah menunjukkan potensi untuk menciptakan krisis lingkungan di Amerika Serikat dalam catatan sejarah.
Di masa kini abad ke-18 hingga 19, sejumlah besar petani mengantarkan ternak sapi mereka menuju daerah Great Plains, suatu area di pusat Amerika Serikat yang dikenal dengan padang rumput lebatnya. Akan tetapi, dikarenakan asupan makanan yang berlebihan ( overgrazing ), wilayah rerumputan itu kini berubah menjadi apa yang disebut Dust Bowl Alias Mangkok Debu. Tidak ada lagi rumputan, yang tertinggal hanya padangan tanah tandus dan berdebu yang rentan terhadap ribut pasir. Fenomena serupa yang terjadi di Great Plains saat ini juga memiliki potensi untuk terulang di tempat lain. sejumlah wilayah di Australia serta Amerika bagian barat daya .
Mungkinkah Auroch Kembali?
Terakhir kali seekor auroch ditemukan adalah di awal abad ke-17. Namun demikian, tanda-tandanya tidak lenyap tanpa bekas. Terdapat kelompok orang yang sangat menyadari pentingnya eksistensi auroch untuk ekosistem alam. Menggunakan teknologi canggih sebagai sarana, mereka bertujuan merestorasi dan membawa kembali spesies tersebut dari kepunahan.Di Eropa terdapat beberapa proyek seperti TaurOs Program, Uruz Project, serta Rewilding Europa yang bertujuan menghidupkan kembali spesies aurochs. Cara mereka melaksanakan ini mirip dengan proses penyingkiran aurochs pada masa lalu: pemuliaan hewan secara selektif. Para ilmuwan dengan cermat memilih binatang yang masih menunjukkan karakteristik aurochs, contohnya adalah sapi jantan pejuang asli Spanyol dan Maremmana dari Italia, kemudian dikembangkan lagi sehingga mendekati bentuk semula aurochs tersebut.
Proyek-proyek tersebut bukan hanya berniat untuk menghidupkan kembali aurochs. Melainkan, mereka memiliki tujuan yang lebih luas yaitu memonfrelehkan binatang-binatang yang berasal dari pembibitan terpilih tersebut untuk dapat memberikan kontribusi lagi kepada lingkungan. Akibatnya memang belum mungkin untuk diramalkan dengan pasti. Namun, hal tersebut layak mendapat apresiasi. Sebab, membawa kembali aurochs ke habitat aslinya tidak sekadar tentang penghidupan kembali, akan tetapi juga penebusan.